Minggu, 19 Mei 2013

DINASTI SAUDI SATU TRAH DENGAN YAHUDI?






Sikap apatis negara-negara Arab seperti Mesir, Yordania, khususnya Arab Saudi, mengundang kecurigaan umat Islam. Bagaimana mungkin mereka bungkam menyaksikkan pembantaian saudara Muslim yang berlangsung di depan matanya, dilakukan oleh musuh abadi Zionis Israel La’natullah?. Penelitian dan penelusuran seorang Mohammad Sakher, yang akhirnya dibunuh oleh rezim Saudi karena temuannya yang menggemparkan, agaknya menuntun kita menemukan jawabannya.

Sakher menulis buku berjudul “Ali Saud min Aina wa Ila Aina?” membongkar apa di balik bungkamnya penguasa Khadimul Haramain setipa kali berhadapan dengan konflik Palestina-Israel. Buku ini juga menemukan fakta baru, mengenai asal muasal Dinasti Saudi. Bagaimanakah runtut garis genealoginya.? Benarkah mereka berasal dari trah Anza bin Wael, keturunan Yahudi MILITAN.?

Informasi buku ini mencekam sekaligus mencengangkan. Sulit dipercaya, sebuah dinasti yang bernaung dibawah KERAJAAN ISLAM SAUDIYAH bisa melakukan kebiadaban iblis dengan melakukan pembakaran masjid sekaligus membunuh jema’ah shalat yang berada di dalamnya. Jika isi buku yang terbit 3 Rabi’ul Awal 1401 H (1981 M) ini “terpaksa” dipercaya, karena faktanya yang jelas, maka kejahatan Kerajaan Saudi Arabia terhadap kabilah Arab terdahulu, persis seperti kebuasan Zionis Israel rakyat Muslim di Jalur Gaza.

Lebih mencurigakan lagi, sikap komunitas salaffiyun di Indonesia yang menolak untuk mengutuk Israel. Lidah mereka lebih fasih mengutuk trio bom Bali; Imam Samudera, Ali Ghufran, dan Amrozy dari pada mengutuk Durjana Ariel Sharon, Ehud Olmert, Meir Dagan, Tzipi Livni, dan tokoh Zionis lainnya. Alasannya, mengikuti doktrin dinasti Sa’udi, dinasti penguasa kerajaan Saudi Arabia sekarang, bahwa Israel adalah anak keturunan Nabi Ya’kub. Seperti sikap yang ditunjukkan oleh seorang kader salafy di Mataram, NTB, yang tidak mau membela Palestina dan menolak mengutuk Israel. “Bangsa Israel tidak boleh dimusuhi, karena mereka keturunan nabi Ya’kub As,” katanya.

Mengapa ada umat Islam yang membela Israel tapi mengutuk saudara Muslim? Naskah di bawah ini merupakan rangkuman dari buku yang sudah disebutkan judulnya di atas (terdiri dari 43 halaman) yang penulis kutip dari majalah Mujahidin edisi 26 tahun 1430 H/2009 M dengan didukung banyak referensi lainnya.



  • Melacak Asal Dinasti Saudi


Dalam silsilah resmi kerajaan Saudi Arabia disebutkan, bahwa Dinasti ini bermula sejak abad ke-12 Hijriyah atau abad ke-18 Masehi. Ketika itu, di jantung Jazirah Arabia, tepatnya di wilayah Najd yang secara historis sangat terkenal, lahirlah negara Saudi yang yang pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Sa’ud di “Ad-Dir’iyah”, terletak di sebelah barat laut kota Riyadh pada tahun 1175 H/1744 M, dan meliputi hampir sebagian wilayah Jazirah Arabia.

Negara ini mengaku memikul tanggung jawab dakwah menuju kemurnian Tauhid kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, mencegah perilaku bid’ah dan khurafat, kembali pada ajaran Salafus Shalih dan berpegang teguh kepada dasar-dasar agama Islam yang lurus. Periode awal negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233 H/1818 M.

Periode kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan negara Saudi kedua pada tahun 1240 H/1824 M. Periode ini berlangsung hingga tahun 1309 H/1891 M. Pada tahun 1319 H/1902 M, Raja Abdul Aziz berhasil mengembalikan kejayaan kerajaan para pendahulunya, ketika beliau merebut kembali kota Riyadh yang merupakan ibukota bersejarah kerajaan ini.

Semenjak itulah Raja Abdul Aziz mulai bekerja dan membangun serta mewujudkan kesatuan sebuah wilayah terbesar dalam sejarah Arab modern, yaitu ketika berhasil mengembalikan suasana keamanan dan ketentraman ke bagian terbesar wilayah Jazirah Arabia, serta menyatukan seluruh wilayahnya yang luas ke dalam sebuah negara modern yang kuat yang dikenal dengan nama KERAJAAN SAUDI ARABIA.  Penyatuan nama ini, yang dideklarasikan pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan dimulainya fase baru sejarah Arab modern.

Raja Abdul Aziz Al-Saud pada saat itu menegaskan kembali komitmen para pendahulunya, raja-raja Dinasti Saud, untuk berpegang teguh pada prinsip ASyariah Islam, menebar keamanan dan ketentraman ke seluruh penjuru negeri kerajaan yang sangat luas, mengamankan perjalanan Haji ke Baitullah, memberikan perhatian kepada ilmu dan para ulama, dan membangun hubungan luar negeri untuk merealisasikan tujuan-tujuan solidaritas Islam dan memperkuat tali persaudaraan di antara seluruh bangsa Arabdan kaum Muslimin serta sikap saling memahami dan menghormati dengan seluruh masyarakat dunia.

Di atas prinsip inilah, putra-putra beliau sesudahnya mengikuti jejak langkahnya dalam memimpin Kerajaan Saudi Arabia. Mereka adalah : Raja Saud, Raja Faisal, Raja Khalid, Raja Fahd, dan pelayan Dua Kota Suci Raja Abdullah bin Abdul Aziz.



  • Dinasti Sa’udi Trah Yahudi


Namun, di masa yang jauh sebelumnya, di Najd tahun 851 H. Sekumpulan pria dari Bani Al Masalikh, yaitu trah dari kaum Anza, yang membentuk sebuah kelompok dagang (korporasi) yang bergerak di bidang bisnis gandum dan jagung dan bahan makanan lain dari Irak, dan membawa nya lagi ke Najd. Direktur korporasi ini bernama Sahmi bin Hathlool. Kelompok dagang ini melakukan aktifitas bisnis mereka sampai ke Basra, di sana mereka berjumpa dengan seorang pedagang gandum Yahudi bernama Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe.

Ketika sedang terjadi proses tawar menawar, Si Yahudi itu bertanya pada kafila dagang itu. “Dari manakah anda berasal?” Mereka menjawab, “Dari kaum Anza, kami dari keluarga Bani Al-Masalikh.” Setelah mendengar nama itu, orang Yahudi menjadi gembira, dan mengaku bahwa dirinya juga berasal dari kaum keluarga yang sama, tetapi terpaksa tinggal di Bashra, Irak. Karena persengketaan keluarga antara bapaknya dan ahli keluarga kaum Anza.

Setelah itu, Mordakhai kemudian menyuruh budaknya untuk menaikkan keranjang-keranjang berisi gandum, kurma dan makanan lain ke atas unta milik unta kabilah itu. Hal ini adalah sebuah ungkapan penghormatan bagi para saudagar Bani Al Masalikh itu, dan menunjukkan kegembiraannya karena berjumpa saudara tuanya di Irak. Bagi pedagang Yahudi itu, para kafilah dagang merupakan sumber pendapatan, dan relasi bisnis. Mordakhai adalah saudagar kaya raya yang sejatinya adalah keturunan Yahudi yang bersembunyi di balik roman wajah Arab dari kabilah Al-Masalikh.

Ketika rombongan itu hendak bertolak ke Najd, saudagar yahudi minta diizinkan untuk ikut bersama mereka, karena sudah lama dia ingin pergi ke tanah asal mereka Najd. Setelah mendengar permintaan pemuda Yahudi itu, kafilah dagang suku Anza itu pun amat berbesar hati dan menyambutnya dengan gembira.

Pedagang Yahudi yang sedang taqiyyah alias nyamar itu tiba di Najd dengan pedati-pedatinya. Di Najd, dia mulai melancarkan aksi propaganda tentang sejatinya siapa dirinya melalui sahabat-sahabat, kolega dagang dan teman barunya dari keturuna Bani Al-Masalikh tadi. Setelah itu, di sekitar Mordakhai, berkumpullah para pendukung dan penduduk Najd. Tetapi tanpa disangka, dia berhadapan dengan ulama yang menentang doktrin dan fahamnya. Dialah Syaikh Shaleh Salman Abdullah Al-Tamimi, seoarang ulama kharimatik dari distrik Al-Qasem. Daerah-daerah yang menjadi lokasi disseminasi dakwahnya sepanjang distrik Najd, Yaman, dan Hijaz.
 
Oleh karena satu alasan tertentu, si Yahudi Mordakhai itu – yang menurunkan Keluarga Saud itu – berpindah dari Al Qasem ke Al Ihsa. Di sana, dia merubah namanya menjadi Markhan bin Ibrahin Musa. Kemudian dia pindah dan menitip pada sebuah tempat bernama Dlir’iya yang berdekatan dengan Al Qateep. Di sana, dia memaklumatkan propaganda dustanya, bahwa perisai Nabi SAW telah direbut sebagai ganimah atau barang rampasan oleh seorang pagan (musyrikin) pada waktu perang Uhud antara Arab Musyrikin dan Kaum Muslimin, “Perisai itu telah dijual oleh Arab Musyrikin kepada kabilah kaum Yahudi bernama Banu Qunaiqaq’ yang menyimpannya sebagai harta karun.”

Selanjutnya dia mengukuhkan lagi posisinya di kalangan Arab Badwi melalui cerita-cerita dusta yang menyatakan bagaimana bagaimana Kaum Yahudi di tanah Arab sangat berpengaruh dan berhak mendapatkan penghormatan tinggi. Akhirnya dia diberi sebuah rumah untuk menetap di sana, yang berdekatan dengan Al Qatef. Dia berkeinginan mengembangkan daerah ini sebagai pusat teluk Persia. Dia kemudian mendapatkan ide untuk menjadikanya sebagai tapak atau batu loncatan guna mendirikan kerajaan Yahudi di tanah Arab. Untuk memuluskan cita-citanta itu, dia mendekati kaum Arab Badwi untuk menguatkan posisinya, kemudian secara perlahan, dia mensohorkan dirinya sebagai raja kepada mereka.

Kabilah Ajaman dan kabilah Bani Khaled, yang merupakan penduduk asli Dlir’iya menjadi risau akan sepak terjang dan rencana busuk keturunan Yahudi itu. Mereka berencana menantang untuk berdebat dan bahkan ingin mengakhiri hidupnya. Mereka menagkap saudagar Yahudi itu dan menawannya, namun berhasil meloloskan diri.

Saudagar Yahudi itu kemudian mencari suaka di sebuah ladang bernama Al-Malibed Gushaiba yang berdekatan dengan Al Arid, sekarang bernama Riyadh. Disana dia meminta suaka kepada pemilik kebun tersebut untuk menyembunyikan dan melindunginya. Tuan kebun itu sangat simpati lalu memberikannya tempat untuk berlindung. Tetapi tidak sampai sebulan tinggal di rumah pemilik kebun, kemudian Yahudi itu secara biadab membantai tuan pelindungnya bersama seluruh keluarganya.
Sungguh bengis, air susu dibalas air aki campur air tuba. Mordakhai memang pandai beralibi, dia katakana bahwa mereka telah dibunuh oleh pencuri yang menggarong rumahnya. Dia juga berpura-pura telah membeli kebun tersebut dari tuan tanah sebelum terjadinya pembantaian tersebut. Setelah merampas tanah tersebut, dia menamakannya Al-Dlir’iya, sebuah nama yang sama dengan tempat darimana dia terusir dan sudah ditinggalkannya.

Mordakhai tersebut dengan cepat mendirikan sebuah markas dan ajang rendezvous bernama “madaffa” di atas tanah yang dirampasnya itu. Di markas ini dia mengumpulkan pendekar dan jawara propaganda (kaum munafik) yang selanjutnya mereka menjadi ujung tombak propaganda dustanya. Mereka mengatakan bahwa Mordakhai adalah Syaikhnya orang-orang keturunan Arab yang disegani. Dia menabuh gendering perang terhadap Syaikh Shaleh Salman Abdullah Al-Tamimi, musuh tradisinya. Akhirnya Syaikh Shaleh Salman Abdullah Al-Tamimi terbunuh di tangan anak buah Mordakhai di Masjid Al-Zalafi.

Mordakhai berhasil dan puas hati dengan aksi-aksinya. Dia berhasil menjadikan Dlir’iya sebagai pusat kekuasaannya. Di tempat ini, dia mengamalkan poligami, mengawini puluhan gadis, melahirkan banyak anak yang kemudian dia beri nama dengan nama-nama Arab.

Walhasil, kaum kerabatnya semakin bertambah dan berhasil menghegemoni daerah Dlir’iya di bawah bendera Dinasti Saud. Mereka acapkali melakukan tindakan kriminal, menggalang berbagai konspirasi untuk menguasai semenanjung Arab. Mereka melakukan aksi perampasan dan penggarongan tanah dan lading penduduk setempat, membunuh setiap orang yang mencoba menentang rencana jahat mereka. Dengan beragam cara dan muslihat mereka melancarkan aksinya. Memberikan suap, memberikan iming-iming wanita dan gratifikasi uang kepada para pejabat berpengaruh di kawasan itu. Bahkan, mereka “menutup mulut” dan “membelenggu tangan” para sejarahwan yang mencoba menyingkap sejarah hitam dan merunut asal garis trah keturunan mereka kepada kabilah Rabi’a, Anza dan Al-Masalikh.



  • Sekte Wahabi


Seorang munafik jaman kiwari bernama Muahammad Amin Al-Tamimi – Direktur/Manager Perpustakaan kontemporer Kerajaan Saudi, menyusun garis keturunan (Family Tree) untuk keluarga Yahudi ini (Keluarga Saudi), menghubungkan garis keturunan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai imbalan pekerjaannya itu, ia menerima imbalan sebesar 35.000 Pound Mesir dari Duta Besar Saudi Arabia di Kairo pada tahun 1362 H atau 1943 M. Nama Duta Besar itu adalah Ibrahim Al-Fadel.

Seperti disebutkan di atas, Yahudi nenek moyang keluarga Saudi (Mordakhai), yang berpoligami dengan wanita-wanita Arab melahirkan banyak anak, saat ini pola poligami Mordakhai dilanjutkan oleh keturunannya, dan mereka bertaut pada warisan perkawinan itu.

Salah seorang anak Mordakhai bernama Al-Maqaran (Yahudi : Mack-Ren) mempunyai anak bernama Muhammad, dan anak yang lainnya bernama Sa’ud, dari keturunan Sa’ud inilah Dinasti Saudi SAAT INI berasal.

Keturunan Saud (keluarga Saud) mulai melakukan kampanye pembunuhan pimpinan terkemuka suku-suku Arab dengan dalih mereka murtad, menghianati Agama Islam, meninggalkan ajaran Al-Qur’an, dan keluarga Saud membantai mereka atas nama Islam.

Di dalam buku Sejarah Keluarga Saudi halaman 98-101, penulis pribadi sejarah keluarga Saudi menyatakan bahwa Dinasti Saudi menganggap semua penduduk Najd menghina Tuhan. Oelh karena itu darah mereka halal, harta bendanya dirampas, wanita-wanitanya dijadikan selir, tidak seorang Muslimpun yang dianggap benar, kecuali pengikut sekte Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri sekte Wahabi (yang aslinya juga keturunan Yahudi Turki).

Doktrin Wahabi memberikan otoritas kepada keluarga Saudi untuk menghancurkan perkampungan dan penduduknya, termasuk anak-anak dan memperkosa wanitannya, menusuk perut wanita hamil, memotong tangan anak-anak, kemudian membakarnya. Selanjutnya mereka diberikan kewenangan dengan ajarannya yang kejam (brutal doctrin) untuk merampas semua harta kekayaan milik orang yang dianggapnya telah menyimpang ajaran agama karena tidak mengikuti ajaran Wahabi.

Keluarga Yahudi yang jahat dan mengerikan ini melakukan segala jenis kekejaman atas nama sekte agama palsu mereka (sekte Wahabi) yang sebenarnya diciptakan oleh seorang Yahudi untuk menaburkan benih-benih terror di dalam hati penduduk di kota-kota dan desa-desa. Pada tahun 1163 H, Dinasti Yahudi ini mengganti nama semenanjung Arabia dengan nama keluarga mereka, menjadi Saudi Arabia, seolah-olah seluruh wilayah itu milik pribadi mereka, dan penduduknya sebagai bujang atau budak mereka, bekerja keras siang dan malam untuk kesenangan tuannya, yaitu keluarga Saudi.

Mereka dengan sepenuhnya menguasai kekayaan alam negeri itu seperti miliknya pribadi. Bila ada rakyat biasa mengemukakan penentangannya atas kekuasaan sewenang-wenang Dinasti Yahudi ini, dia akan dihukum pancung di lapangan terbuka. Seorang putri anggota keluarga kerajaan Saudi beserta rombongannya sekali tempo mengunjungi Florida, Amerika Serikat, dia menyewah 90 (Sembilan puluh) Suite Rooms di Grand Hotel dengan harga $1 juta semalamnya. Rakyat yang mencoba memprotes lawatan sang puteri yang jelas-jelas menghamburkan uang negara ini akan ditembak mati dan dipenggal kepalanya.



  • Fakta Mengemparkan


Raja Abdul Aziz
Sejumlah kesaksian yang meyakinkan bahwa keluarga Saud merupakan keturunan Yahudi, dapat dibuktikan melalui fakta-fakta berikut ini. Pada tahun 1960-an, pemancar radio “Sawtul Arab” di Kairo, Mesir, dan pemancar radio di Sana’a, Yaman, membuktikan bahwa nenek moyang keluarga Yahudi adalah dari trah yahudi.


Raja Faisal Al-Saud tidak bisa menyanggah bahwa keluarganya adalah keluarga Yahudi ketika memberitahukan kepada The Washington Post pada 7 september 1969, dengan menyatakan bahwa: “KAMI, KELUARGA SAUDI ADALAH KELUARGA YAHUDI. KAMI SEPENUHNYA TIDAK SETUJU DENGAN SETIAP PENGUASA ARAB ATAU ISLAM YANG MEMPERLIHATKAN PERMUSUHANNYA KEPADA YAHUDI, SEBALIKNYA KITA HARUS TINGGAL BERSAMA MEREKA DENGAN DAMAI. NEGERI KAMI, SAUDI ARABIA MERUPAKAN SUMBER AWAL YAHUDI DAN NENEK MOYANGNYA, LALU MENYEBAR KE SELURUH DUNIA.”


Pernyataan ini keluar dari lisan Raja Faisal Al-Saud bin Abdul Aziz. Hafez Wahabi, penasehat hukum kerajaan Saudi menyebutkan di dalam bukunya yang berjudul “Semenanjung Arabia” bahwa Raja Abdul Aziz yang mati pada tahun 1953 mengatakan: “Pesan kami (Pesan Saudi) dalam menghadapi oposisi dari suku-suku Arab, kakekku, Saud Awal, menceritakan saat menawan sejumlah Syaikh dari suku Mathir, dan ketika kelompok lain dari suku yang sama datang untuk menengahi dan meminta pembebasan semua tawanannya. Saud Awal memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk memenggal kepala semua tawanannya, kemudian mempermalukan dan menurunkan nyali para penengah itu dengan cara mengundang mereka ke jamuan makan. Makanan yang dihidangkan adalah daging manusia yang sudah dimasak, potongan kepala tawanan diletakkan di atas piring.”

Para penengah menjadi terkejut dan menolak untuk makan daging saudara mereka sendiri. Karena mereka menolak untuk memakannya, Saud Awal memerintahkan memenggal kepala mereka juga. Itulah kejahatan yang sangat mngerikan yang telah dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya sendiri sebagai Raja kepada rakyat yang tidak berdosa, kesalahan mereka karena menentang terhadap kebengisannya dan memerintah dengan sewenang-wenang.

Hafez Wahabi selanjutnya menyatakan bahwa, berkaitan dengan kisah nyata berdarah yang menimpa Syaikh suku Mathir dan sekelompok suku Mathir yang mengunjunginya dalam rangka meminta pembebasan pimpinan mereka yang menjadi tawanan Raja Abdul Aziz Al-Saud tersebut bernama Faisal Al-Darwis. Diceritakannya kisah itu kepada utusan suku Mathir dengan maksud mencegah agar mereka tidak meminta pembebasan pimpinan mereka, bila tidak, mereka akan diperlakukan sama. Dia bunuh Syaikh Faisal Darwis dan darahnya dipakai untuk berwudhu sebelum dia shalat.

Kesalahan Faisal Darwis waktu itu hanya karena dia mengkritik Raja Abdul Aziz Al-Saud. Ketika Raja menandatangani dokumen yang disiapkan penguasa Inggris pada tahun 1922 sebagai pernyataan memberikan Palestina kepada Yahudi, tandatangannya dibubuhkan dalam sebuah konferensi di Al-Qir tahun 1922.

Sistem Rezim keluarga Yahudi (Keluarga Saudi) dulu dan sekarang masih tetap sama. Tujuannya, untuk merampas kekayaan negara, merampok, memalsukan, melakukan semua jenis kekejaman, ketidakadilan, penghujatan dan penghinaan, yang kesemuanya itu dilaksanakan sesuai dengan ajaran Sekte Wahabi yang membolehkan memenggal kepala orang yang menentang ajarannya. Wallahu ‘alam bis shawab.
  

############################################################################################
##################################################################################



 Contact me : 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar